Menurut pemahaman Ahlus Sunnah, satu hal yang sudah mapan (sudah  pasti dan tetap) dalam aqidah bahwa dalam memahami agama ini harus  selalu mendahulukan Al Qur’an dan As Sunnah berdasar pemahaman Salafus  Shalih dibanding akal. Manakala ada sesuatu yang bertentangan dengan Al  Qur’an dan As-Sunnah maka harus kita singkirkan. Hal ini berdasarkan apa  yang Allah jelaskan dalam kitab-Nya dan Rasulullah sebutkan dalam  Sunnahnya, diantaranya:
يَا  أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ  وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan  Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha  Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah  kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu  mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah)  kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah  Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”  (Asy-Syura: 10) 
Nabi Shalllahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Saya tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat  setelah berpegang dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.”  (Riwayat Al-Hakim dari Abu Hurairah, 1/172, lihat Shahih Al-Jami’ no.  2937 dan Ash-Shahihah no. 1761)
Ketika masa semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak  muncul fitnah, datang sebuah pemikiran atau paham bahwa akal harus  didahulukan daripada wahyu (dalil naqli) ketika keduanya bertentangan  -menurut pemahaman penganutnya-. Paham taqdimul aql ‘alan naql  (mendahulukan akal dari pada naqli) yang berarti pula taqdisul ‘aql  (mengkultuskan akal) ini, jika kita teliti silsilah nasabnya  (asal-usulnya), maka ia akan berujung pada Iblis la’natullah ‘alaihi.  Dialah yang pertama kali menggunakan akalnya untuk menolak perintah  Allah Ta’ala tatkala Allah Ta’ala memerintahkan dia bersama malaikat  sujud kepada Nabi Adam. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ  خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ  اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ  السَّاجِدِينَ
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk  tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu  kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk  mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk  bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya  lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau  ciptakan dari tanah”. (Al-A’raf: 11-12)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perbuatan menentang wahyu dengan  akal adalah warisan Syaikh Abu Murrah (iblis). Dialah yang pertama kali  menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.”  (Ash-Shawa’iqul Mursalah, 3/998, lihat pula Syarh Aqidah Thahawiyah hal.  207) 
Manhaj (metodologi) ini kemudian diwarisi oleh para pengikut iblis  dari kalangan musuh para Rasul. Diantaranya adalah kaum Nabi Nuh yang  melakukan penentangan terhadap dakwah beliau. Mereka berkata sebagaimana  dikisahkan oleh Allah Ta’ala :
فَقَالَ  الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا  مِّثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا  بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ بَلْ  نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
“Dan berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami  tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami. Dan  kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang yang  hina dina diantara kami yang mudah percaya begitu saja. Kami tidak  melihat kamu memiliki kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin  bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (Hud: 27)
Yakni, orang-orang yang menentang Nabi Nuh berkata bahwa mereka (para  pengikut Nabi Nuh) mengikuti beliau tanpa dipikir benar-benar (Tafsir  As-Sa’di, hal. 380). Orang-orang kafir itu beralasan, mereka tidak  mengikuti Nabi Nuh ‘alaihissalam karena menganggap diri mereka sebagai  orang-orang yang rasionya maju dan berpikir panjang, sedang pengikut  para rasul berakal pendek (lekas percaya).
Hal yang sama terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu  ‘alaihi wassalam. Allah mengatakan tentang orang-orang munafiq dalam  firman-Nya:
وَإِذَا  قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا  آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِن لَّا  يَعْلَمُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana  orang-orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami  sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya  mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak tahu.”  (Al-Baqarah: 13) 
Tokoh paham ini yang muncul di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi  wassalam adalah Dzul Khuwaishirah. Dialah yang mengatakan kepada Nabi  Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Bertaqwalah kepada Allah wahai Muhammad  dan berbuat adillah (dalam hal pembagian).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.  1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj  ‘ala Muslim, 3/129)
Orang ini tahu akan keharusan berbuat adil tapi ia tidak tahu cara adil  menurut syariat. Ia menyangkal cara pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi  wassalam  -untuk orang-orang yang beliau maksudkan agar lunak hati  mereka- dengan pandangan akalnya, ia menganggap bahwa pembagian Nabi  Shallallahu ‘alaihi wassalam  itu tidak adil walaupun Nabi membaginya  dengan petunjuk dari Allah Ta’ala. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi  wassalam pun berkata: “Yang di langit telah mempercayakan aku, sedangkan  kalian tidak percaya kepadaku?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1219, 1581  dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj ‘ala Muslim,  3/129)
Sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam masih ada orang yang  mewarisi pemikiran itu bahkan dikembangkan menjadi lebih sistematis.  Mereka tulis dalam karya-karya mereka lalu dijadikan sebagai rujukan  dalam banyak permasalahan. Maka jadilah akal sebagai hakim dalam  berbagai masalah. Apa yang diputuskan akal, itulah yang benar. Dan apa  yang ditolaknya maka itu tentu salah. Salah satu “ahli waris” dari paham  ini adalah kelompok Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia dengan  semata akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan  kejahatan.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka  paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil: “Yang pertama  adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik  dan yang buruk …karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang  yang berakal…” (Fadhlul I’tizal hal. 139, dinukil dari Mauqif  Al-Madrasah Al-’Aqliyyah min As-Sunnah An-Nabawiyyah, 1/97)
Perkataan orang-orang Mu’tazilah ini jelas bertentangan dengan  ayat-ayat dan hadits yang telah disebut di muka. Karena itu, alasan  seperti ini tidak bisa diterima (karena salah), apapun alasannya.  Lebih-lebih karena dalilnya juga cuma dari akal, dimana akal ini satu  sama lain bisa berbeda pandangan (dalam memahami sesuatu). Lantas  pandangan siapa yang mau dijadikan standar? 
Bahkan apa yang dia katakan itu “…karena dengannya bisa terbedakan  antara yang baik dan yang buruk…” adalah pernyataan yang salah menurut  dalil naqli dan akal yang sehat. Tidak secara mutlak demikian. Allah  Ta’ala berfirman:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha: 7)
وَكَذَٰلِكَ  أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا  الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ  مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ  مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan  perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al  Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami  menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang  Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu  benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)
Jadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam  sendiri sebelum diberi wahyu  tidak mengetahui perincian syariat, tidak tahu mana yang baik dan yang  buruk secara detail apalagi selain beliau. 
Bagi yang berakal sehat, dia akan tahu, misalnya, bahwa shalat adalah  sesuatu yang baik setelah diberi tahu syariat. Tahu mencium Hajar Aswad  itu baik, tahu melempar jumrah itu baik, tahu jeleknya daging babi  sebelum ditemukan adanya cacing pita di dalammnya, dan banyak  pengetahuan lainnya semua adalah dari syariat. Dengan demikian  syariatlah yang menerangkan baik atau jeleknya sesuatu. 
Memang terkadang akal dapat menilai baik buruknya sesuatu namun hanya  pada perkara yang sangat terbatas, seperti baiknya kejujuran dan  jeleknya kebohongan. Dalam permasalahan lain, terutama dalam perkara  aqidah dan ibadah, akal banyak tidak tahu bahkan butuh bimbingan wahyu  untuk mengetahuinya. 
Perkataan Al-Qadhi Abdul Jabbar berikutnya: “Karena Allah tidak  berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal,” kalimat ini tidak  bisa dijadikan dasar untuk melandasi pendapatnya. Karena Allah berbicara  dengan orang yang berakal bukan untuk membolehkan akal mendahului  wahyu. Namun agar mereka memahami ayat Allah, tunduk padanya dan tidak  menentangnya. Ini hanya satu contoh ucapan tokoh Mu’tazilah. 
Masih banyak ucapan sejenis yang menyelisihi nash Al-Qur’an dan As Sunnah.
Kita langsung melompat pada zaman akhir-akhir ini dimana muncul pula  para pemikir semacam Muhammad Abduh. Orang ini berkata: “Telah sepakat  pemeluk agama Islam –kecuali sedikit yang tidak terpandang– bahwa jika  bertentangan antara akal dan dalil naqli maka yang diambil adalah apa  yang ditunjukkan oleh akal.” (Al-Islam wan Nashraniyyah hal. 59 dinukil  dari Al-‘Aqlaniyyun hal. 61-62)
Ia kesankan pendapatnya adalah pendapat jumhur (mayoritas) umat,  sedangkan pendapat lain (yang justru mencocoki kebenaran) merupakan  pendapat minoritas yang tidak perlu ditoleh. Yang benar adalah  sebaliknya. Justru pendapat seluruh Ahlus Sunnah dari dulu sampai saat  ini dan yang akan datang, bahwa akal itu harus mengikuti dalil Al Qur’an  dan As Sunnah. Sedang mereka (orang-orang Mu’tazilah dan pengikutnya)  adalah golongan minoritas yang tidak perlu dilihat orangnya dan  pendapatnya.
Tokoh berikutnya adalah Muhammad Al-Ghazali yang mengatakan: “Ketahuilah  bahwa sesuatu yang telah dihukumi oleh akal sebagai sebuah kebathilan,  maka mustahil untuk menjadi (bagian) agama. Agama yang haq adalah  kemanusiaan yang benar dan kemanusiaan yang benar adalah akal yang tepat  (sesuai) dengan hakikat, yang bercahaya dengan ilmu, yang merasa sempit  dengan khurafat dan yang lari dari khayalan…” (Majalah Ad-Dauhah  Al-Qathariyyah edisi 101/Rajab1404 H dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal.  64)
Akal siapa yang kau maksud, wahai Muhammad Al-Ghazali? Pada  kenyataannya yang kau maksudkan adalah akal-akal seperti yang kau  miliki. Kamu jadikan akal itu sebagai alat untuk menghukumi benar  tidaknya syariat. Sampai kau ingkari begitu banyak hadits shahih  walaupun dalam Shahih Al-Bukhari, terlebih hadits lain seperti hadits  tentang seorang muslim tidak boleh di-qishash bunuh dengan sebab  membunuh orang kafir, hadits tentang dajjal, hadits tentang terbelahnya  bulan sebagai mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan banyak  lagi yang lain. (Kasyfu Mauqifil Ghazali, hal. 45-46)
Lain halnya dengan akal yang terbimbing dengan wahyu, mengambil ilmu  dari wahyu tersebut dan berjalan dengan petunjuknya. Akal yang demikian  tidak akan bertentangan dengan agama Allah. Meski demikian, bukan akal  yang dijadikan hakim untuk menentukan kebenaran dan menempatkan wahyu di  belakangnya.
Demikianlah paham ini senantiasa diwarisi dari generasi ke generasi  walaupun terpaut waktu sekian lama. Warisan iblis ini sampai sekarang  masih ada dan sungguh benar perkataan orang arab: “Likulli qaumin  warits” (setiap kelompok/sekte itu ada yang mewarisi) dan sejelek-jelek  warisan adalah warisan iblis, sehingga muncul berbagai pertanyaan di  benak ini, yang mengingatkan kita pada firman Allah:
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ 
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu.  Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz-Dzariyat: 53) 
‘Ala kulli hal (bagaimanapun), ini adalah upaya setan untuk  menyelewengkan manusia dari agama Allah Ta’ala menuju kepada kehancuran  yang nyata.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya membenturkan  antara akal dengan wahyu adalah asal-usul semua kerusakan di alam  semesta. Dan itu adalah lawan dari dakwahya para rasul dari semua sisi  karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada  pendapat akal dan musuh mereka justru sebaliknya. Para pengikut rasul  mendahulukan wahyu daripada ide dan hasil olah pikir akal. Sedang para  pengikut iblis atau salah satu wakilnya, mendahukukan akal dari pada  wahyu.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 1/292, lihat pula I’lamul  Muwaqqi’in, 1/68-69, Mauqif Al-Madrasah, 1/86)
Lebih parah, metodologi ini menjadi ciri khas para ahli bid’ah dalam  berdalil seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syathibi ketika  menerangkan cara berdalil ahli bid’ah. Beliau berkata: “Mereka menolak  hadits-hadits yang tidak sesuai dengan tujuan dan madzhab mereka dengan  alasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan akal dan tidak sesuai dengan  konsekuensi dalil.” (Al-I’tisham, 1/294). Beliaupun mengatakan:  “Mayoritas ahli bidah berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu  menilai baik dan buruk (yakni tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan  sandaran pertama dan kaidah mereka dimana mereka membangun syariat di  atasnya sehingga itu lebih utama dalam ajarannya. Mereka tidak curiga  pada akal tapi terkadang curiga pada dalil ketika terlihat tidak sesuai  dengan mereka sehingga mereka menolak banyak dalil yang syar’i.”  (Mukhtashar Al-I’tisham, hal. 46).Wallahu a’lam.
(sumber  http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=170)