Code Banner "Materi Tauhid"
Code Banner "Say No! To Terrorism!"

08 Juni 2009

Ada apa dengan Demokrasi dan Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009 (bagian I)

Ini merupakan artikel yang membahas tentang sejauh mana keabsahan sistem yang dianut dari Demokrasi beserta "Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009"-nya, dan ini merupakan nasehat bagi para pemimpin yang akan duduk di kursi pemerintahan periode 2009-2014. Materi yang berkaitan dengan ini kami nukilkan berupa tinjauan syariat dari beberapa tulisan mengenai Demokrasi dan Pemilu oleh para Ulama dan Asatidzah yang telah mengupas dan menyoroti permasalahan ini dalam beberapa artikel.

MUKADIMAH

Setelah Pemilu partai dan legislatif selesai, ternyata di negeri ini masih menyisakan PR besar, yang tentunya dengan biaya dan pengorbanan besar pula, yaitu Pilpres/wapres. Untuk Pemilu 2009 ini anggaran dana yang diajukan oleh KPU ke pemerintah adalah sebesar 47,9 triliun, angka yang sangat fantastis. Untuk satu perhelatan yang hanya diadakan satu hari pencontrengan. Ini berlangsung untuk satu periode pemilu, yang kemudian akan diulang lagi setiap 5 tahun. Bahkan kecenderungannya anggaran pemilu dari setiap periode bukannya berkurang. Lihat saja menurut data KPU, anggaran untuk Pemilu tahun 2004 hanya menghabiskan R p3 ,8 triliun ditambah Rp 600 miliar dari APBD. Segitu…hanya?!! Kemudian pada tahun ini menjadi semakin bengkak lagi!! Ajuan anggarannya 47,9 T, artinya jika kita kalkulasikan secara kasar dari 47T itu dibagi -katakanlah penduduk Indonesia 200jt jiwa-, maka hasilnya sekitar Rp 239.000,-/kepala.
Inilah potret Demokrasi dan "Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009", yang belakangan banyak di gembar-gemborkan di media internet dalam "Kontes SEO Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009" .
Demokrasi? Pemilu? bagaimana syariat mendudukkan permasalahan ini? Adakah Demokrasi dalam Islam?
Masih ingat di pikiran kita,ketika masih mengenyam pendidikan di Sekoah Dasar, dalam pelajaran IPS disebutkan Demokrasi merupakan faham yang di ambil dari filsafat Yunani, yang secara bahasa berasal dari kata Demos = rakyat dan Kratos = Kekuasaan/hukum, jadi artinya Kekuatan / Kekuasaan berada di tangan rakyat. Sehingga slogan Demokrasi adalah ; Dari Rakyat, Untuk Rakyat dan oleh Rakyat. Bahkan ada juga yang mengistilahkan Suara Mayoritas adalah Suara Rakyat dan Suara Rakyat adalah suara Tuhan. Benarkah demikian?

Sebagaimana yang disampaikan oleh penulis Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam yakni Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini ketika membantah faham demokrasi yang diusung oleh Yusuf Al-Qardhawi, beliau mengatakan:
" Demokrasi merupakan salah satu dari tipu muslihat orang-orang Yahudi dan Nashara serta merupakan salah satu rekayasa dan makar mereka. Walaupun demikian, Yusuf Al Qaradhawi ini memberikan nama bahwa itu (demokrasi) adalah siyasah syar’iyah dan juga salah satu bab yang luas dalam fiqih Islam. Ia juga mengatakan bahwa demokrasi dan syura’ adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin pisah. Inilah perkataannya :
Demokrasi mencakup kebebasan-kebebasan dan metode-metode untuk meruntuhkan para penguasa yang tirani, demokrasi juga adalah siyasah syar’iyah yang pembahasannya sangat luas dalam fiqih Islam. Demokrasi dan syura adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin pisah. (Harian Asy Syarq edisi 2719, 25 Agustus 1995 M)

Lihatlah wahai para pembaca, bagaimana dia menghiasi kebathilan dan menyelubungi kebohongan dan kedustaan dengan baju Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedangkan dia diajak kepada agama Islam?” (QS. Ash Shaff : 7)
Untuk menjelaskan kebathilan ini saya katakan kepadanya :
Pertama, perkataanmu bahwa demokrasi adalah siyasah syar’iyah dan salah satu bab yang luas dalam fiqih Islam, ini suatu masalah yang setanmu pun tidak bisa membantumu untuk bisa mendatangkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Karena suatu perkara akan disebut sebagai sesuatu yang syar’i bila bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sedangkan demokrasi ini tidak bersumber kepada keduanya. Bahkan demokrasi itu bersumber dan muncul dari negara kafir.

Permasalahan demokrasi ini akan semakin jelas jika mengetahui maknanya, kita tidak akan merujuk kepada Lisanul ‘Arab dan juga Ash Shihhah untuk membahasnya. Namun kita akan melihat makna demokrasi ini kepada yang membuatnya karena si empunya rumah lebih paham tentang isi rumahnya. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dan tersusun dari dua lafal. Lafal pertama adalah demo yang bermakna rakyat atau penduduk sedangkan lafal kedua krasi berasal dari kata kratia yang berarti aturan hukum atau kekuasaan. Dua kata Yunani itu kalau digabung menjadi demokratia yang berarti pemerintahan dari pihak rakyat. (As Syuura Laa Ad Demokratiyyah, halaman 34)
Dalam kamus milik para pemuja demokrasi yaitu kamus Collins cetakan London tahun 1979 disebutkan bahwa makna demokrasi adalah hukum dengan perantara rakyat atau yang mewakilinya. (Lihat buku Ad Demokratiyyah wa Mauqifil Islami Minha)

Jadi, demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an karena di dalam syariat Islam hukum hanya milik Allah dan rakyat tidak mempunyai hukum dan juga yang mewakilinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (QS. Yusuf : 40)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya :
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al Maidah : 49)
Allah telah menjelaskan dalam dua ayat ini bahwa hukum itu tidak menjadi milik rakyat dan juga wakilnya di parlemen. Dan Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan berupa syariat. Maka, bagaimana mungkin demokrasi disebut siyasah syar’iyah padahal demokrasi pada dasarnya itu bertentangan dengan syariat Islam".
Kemudian beliau berkata lagi :
"Dalil-Dalil Yang Mencela Mayoritas Dan Tertipu Dengannya Serta Ucapan Ulama Dalam Masalah Ini;
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am 116)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Kitab Tafsir-nya tentang ayat ini :
“Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan tentang keadaan penduduk bumi dari kalangan Bani Adam bahwa mereka dalam kesesatan. Seperti itu juga Allah berfirman :
‘Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.’ (QS. Ash Shaffat : 71)
Begitu pula firman Allah :
‘Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.’ (QS. Yusuf : 103)
Mereka dalam kesesatan tanpa keyakinan namun hanya sekadar persangkaan dusta dan perkiraan yang bathil belaka.
‘Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).’” (QS. Al An’am : 116)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah berkata : “Ayat ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil kebenaran. Dan sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil bahwa itulah yang bathil.

Bahkan kenyataan sering menunjukkan kebalikannya, pelaku kebenaran sedikit jumlahnya namun mereka besar kadar dan pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk mengetahui kebenaran dan kebathilan adalah konsep-konsep yang bisa mengantarkan kepada hal itu.” (Tafsir Taisiir Kariimir Rahmaan, halaman 233)
Allah telah menyebutkan ayat-ayat yang menunjukkan kepada celaan terhadap banyaknya jumlah dan mayoritas. Allah berfirman :
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 243)
“Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya).” (Al Isra’ : 89)
“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Al Ghafir : 59)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)
“Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf : 40)
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS. Az Zukhruf : 78)
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)
“Katakanlah : ‘Segala puji bagi Allah’, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut : 63)
Dan ayat-ayat yang seperti ini masih banyak sekali.

Saudaraku yang mulia, lihatlah bagaimana Allah mengabarkan tentang keadaan mayoritas manusia bahwa kebanyakan tidak beriman, tidak bersyukur, tidak mengetahui, tidak berakal, dan kebanyakan menyekutukan Allah serta benci kepada kebenaran.

Dalam ayat-ayat yang lain Allah menyebutkan bahwa pelaku kebaikan dan yang taat agama itu sedikit jumlahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’ : 13)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shad : 24)
“Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah : 246)
“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu tentulah kamu mengikut syaitan kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An Nisa’ : 83)
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ditampakkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang Nabi bersama beberapa pengikutnya juga seorang Nabi bersama seorang lelaki dan dua orang lelaki. Dan ada juga seorang Nabi yang tidak bersama seorang pun juga.”

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkategorikan tertipu dengan jumlah yang banyak ini termasuk salah satu kaidah jahiliah. Beliau mengatakan :
“Sesungguhnya termasuk dari kaidah orang-orang jahiliah adalah tertipu dengan jumlah yang terbanyak dan mereka berdalil dengan jumlah terbanyak tadi untuk menunjukkan sahnya sesuatu dan mereka juga berdalil untuk menunjukkan bathilnya sesuatu dengan jumlahnya yang sedikit dan aneh.” (Masaa’il Jaahiliyah, masalah nomor 5)
(Sumber : Kitab Raf'ul Litsaam 'An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari'atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari'at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari www.assunnah.cjb.net dengan diringkas)
Allahu a'lam.
Selengkapnya di : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=644

Baca Juga :


0 comments:

Silahkan baca juga :