Code Banner "Materi Tauhid"
Code Banner "Say No! To Terrorism!"

08 Juni 2009

Ada apa dengan Demokrasi dan Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009 (bagian II)

Ini merupakan artikel ke II dari artikel sebelumnya tentang sejauh mana keabsahan sistem yang dianut dari Demokrasi beserta "Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009"-nya, dan ini merupakan nasehat bagi para pemimpin yang akan duduk di kursi pemerintahan periode 2009-2014. Materi yang berkaitan dengan ini kami nukilkan dari tulisan karya Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari yang diambil dari Majalah Asy-Syari’ah edisi 05/I/Muharram 1425 H, hal. 10-14, sebagai berikut :

MENGGUGAT HUKUM MAYORITAS

Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti meski bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa salam-.
Sejauh mana keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknumnya (pengusungnya), yang dalam hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat dirinya, sikapnya terhadap para rasul, atau pun syariat. Dengan diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana keabsahan hukum tersebut.
Hakikat Jati Diri Manusia
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang menyatakan diri siap memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama manusia ini berjati diri dzalum (amat dzalim) dan jahul (amat bodoh). Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً. الأحزاب: 72
Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan diikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (al-Ahzaab: 72)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di رحمه الله berkata: “Allah -Ta'ala- mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan kepada para mukallifin (makhluk yang dibebani hukum syariat), yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan, bukan keharusan: “Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.” Maka makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh terhadap pa-hala-Nya. Kemudian Allah tawarkan kepada manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kedzaliman dan kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul olehnya.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 620)
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- yang Maka Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana tidaklah membiarkan manusia mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci agar berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya. Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ... الحديد: 25
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunan bersama mereka Kitab Suci dan neraca (keadilan) su-paya manusia dapat melaksanakan keadil-an. (al-Hadiid: 25)
Sikap Manusia Terhadap Para Rasul Yang Membimbing Mereka
Namun, demikianlah umat manusia. Para rasul yang membimbing mereka itu justru ditentang, didustakan dan dihinakan.
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانَتْ تَأْتِيهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَكَفَرُوا فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ إِنَّهُ قَوِيٌّ شَدِيدُ الْعِقَابِ. غافر: 22
Yang demiklan itu adalah karena telah da-tang kepada mereka rasul-rasul mereka de-ngan membawa bukti-bukti yang nyata lalu mereka kafir (menentang para rasul terse-but), maka Allah mengazab mereka. Se-sungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Dahsyat hukuman-Nya. (Ghafir: 22)
فَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوْا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ. ال عمران: 184
Jika mereka mendustakan kamu (Muham-mad), maka sesungguhnya rasul-rasul sebe-um mu pun telah didustakan (pula), mereka membawa mu'jizat-mu'jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. (Ali Imran: 184)
Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
Bila kita merujuk kepada al-Qur’anul Karim, maka kita akan dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:
1. Tidak beriman
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman. (Huud: 17)
2. Tidak bersyukur
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur. (al- Baqarah: 243)
3. Benci kepada kebenaran
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu. (az-Zukhruf: 78)
4. Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Dan sesungguhnya mayoritas manusia ada-lah orang-orang yang fasiq. (al-Maidah: 49)
5. Lalai dari ayat-ayat Allah
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Dan sesungguhnya mayoritas dari manuia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami. (Yunus: 92)
6. Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
Allah-Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu. (al-An’aam: 119)
7. Tidak mengetahui agama yang lurus
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui. (Yusuf: 40)
8. Mengikuti persangkaan belaka
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (te-rhadap Allah). (al-An’aam: 116)
9. Penghuni Jahannam
Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia. (al-A’raaf: 179)
Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
Demikianlah kacamata syariat memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendiri?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi leh orang-orang jahiliyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengannya, dan menilai suatu kebatilan dengan langka dan dengan sedikitnya orang yang melakukan...” (Kitab Masail al-Jahiliyyah, masalah ke-5)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Di antara karakter jahiliyyah adalah bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar....” (Syarh Masail Al-Jahiliyyah, hal. 60)
Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. (Bahkan ini adalah kata-kata syirik, menyekutukan Allah dalam hal sifat-Nya. -red)
Lalu mau dikemanakan firman-firman Allah di atas? Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai Islam”...., siang dan malam berteriak “tegakkan syariat Islam!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syariat Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syariat Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan.
Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu... tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya... tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syariat Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo..., kita harus menjunjung tinggi demokrasi..., dan lain sebagainya. Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demonstrasi2 dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallahul musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Allah, akan semakin buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah dan syariat-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Allah, sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnyapun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah telah berfirman tentang Nabi Nuh-'Alaihi salam-:
... وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ. هود: 40
...Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh-'Alaihi salam-) kecuali sedikit. (Huud: 40)
Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa salam- bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ.... رواه البخاري ومسلم
Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya...” (HR. Al-Bukhari no. 5705, 5752 dan Muslim no. 220 dari hadits Abdullah bin Abbas )
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”. (Taisir Al-‘Azizil Hamid, hal. 106)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata: “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ. الأنعام: 116
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (al-An’aam: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: “Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka?” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/106)
Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syariat Islam.
Wallahu ‘alamu bish-shawab.
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi al-Atsari
(Diambil dari majalah Asy-Syari’ah edisi 05/I/Muharram 1425 H, hal. 10-14 dengan diringkas)

0 comments:

Silahkan baca juga :