Sikap Ekstrim Khawarij Gaya Baru (KGB) Terhadap Daulah Islamiyyah
Dalam tulisan ini sengaja kami beri judul “Sikap Ekstrim”, karena yang kami bantah adalah berlebih-lebihannya mereka dalam mendudukkan daulah Islamiyah. Bukan kami menentang perlunya daulah Islamiyah. Dan kami sebutkan dengan istilah KGB (Khawarij Gaya Baru), karena yang akan kita bicarakan adalah khawarij yang muncul belakangan ini. Hal ini berbeda dengan para pendahulu mereka dari kalangan khawarij. KGB ini dalam pergerakannya lebih memfokuskan pada perebutan kekuasaan dan pendirian daulah Islamiyah. Bagi mereka perebutan kekuasaan dan pendirian daulah Islamiyah merupakan tujuan utama dari agama Islam.
Bahkan mereka menganggap bahwa masyarakat muslimin yang ada sekarang dengan penguasanya adalah sama dengan masyarakat jahiliyyah dengan tokoh-tokoh musyrikin yang ada di tengah mereka pada masa awal dakwah Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada mereka. Sehingga perlu mendirikan kepemimpinan Islam yang baru.
Itulah pemikiran salah satu da’i MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan mantan tapol, Halawi Makmun dan sejenisnya dari kalangan KGB. Seperti ucapannya dalam CD bedah buku “Siapa Khawarij Siapa Teroris” bahwa bukanlah jihad itu bersama khalifah, tapi justru jihad itu untuk mewujudkan khilafah. Akhirnya jihad yang mulia yang seharusnya untuk menegakkan tauhid, telah berubah dengan kerancuan pemikirannya menjadi perjuangan perebutan kekuasaan.
Bahkan mereka menganggap bahwa masyarakat muslimin yang ada sekarang dengan penguasanya adalah sama dengan masyarakat jahiliyyah dengan tokoh-tokoh musyrikin yang ada di tengah mereka pada masa awal dakwah Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada mereka. Sehingga perlu mendirikan kepemimpinan Islam yang baru.
Itulah pemikiran salah satu da’i MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan mantan tapol, Halawi Makmun dan sejenisnya dari kalangan KGB. Seperti ucapannya dalam CD bedah buku “Siapa Khawarij Siapa Teroris” bahwa bukanlah jihad itu bersama khalifah, tapi justru jihad itu untuk mewujudkan khilafah. Akhirnya jihad yang mulia yang seharusnya untuk menegakkan tauhid, telah berubah dengan kerancuan pemikirannya menjadi perjuangan perebutan kekuasaan.
Pemikiran-pemikiran seperti itu mereka adopsi dari tokoh-tokoh pendahulu mereka seperti Abul A’laa al-Maududi, Sayyid Quthb, Sa’id Hawa dan lain-lain. Pandangan tersebut merupakan buah dari pemikiran takfir (pengkafiran terhadap kaum muslimin) dan khawarij yang ada pada mereka.
Perhatikanlah pemikiran Abul A’laa Al-Maududi رحمه الله di Pakistan yang nota bene tokoh partai politik setempat. Dia berkata: “Tujuan utama agama ini pada hakekatnya adalah menegakkan aturan kekuasaan yang shalih dan lurus”. (al-Maududi maa lahu wa maa alaihi, Muhammad Zakariya al-Kandahlawi; lihat Manhajul Anbiya’, Syaikh Rabi’ bin Hadi’ Umair al-Madkhaly; hal. 15)
Jangan dikira maksud al-Maududi adalah menegakkan peribadatan seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Justru ia menyatakan bahwa semua itu adalah hanya sarana untuk menegakkan kekuasaan.
Dengarkan ucapan berikutnya: “Tujuan inilah yang menyebabkan disyari’atkannya shalat, puasa, zakat dan haji dalam Islam. Bukanlah amalan-amalan itu dinamakan ibadah, karena dia sebagai ibadah; namun maknanya adalah ia sebagai persiapan yang mempersiapkan manusia pada ibadah yang sesungguhnya. Maka kedudukan ibadah-ibadah tersebut adalah pelatihan yang wajib untuk menuju daulah islamiyah”. (al-Maududi maa lahu wa maa alaihi; lihat Manhajul Anbiya’, Syaikh Rabi’ bin Hadi’ Umair al-Madkhaly; hal. 151)
Lihatlah dengan kejujuran dan keadilan, apakah kaum muslimin ridha jika ibadah-ibadah tersebut tidak dianggap sebagai ibadah yang sesungguhnya, melainkan hanya latihan menuju ibadah yang sesungguhnya? Pantaslah kalau ia lebih dikenal sebagai “pemikir Islam”, karena dia hanya menyimpulkan dengan pikirannya, tidak dengan melihat dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Lihatlah ketika ia berdalil:
“Sungguh masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia dan asas yang paling mendasar. Pentingnya masalah ini bukanlah hal yang baru pada zaman sekarang. Sesungguhnya masalah ini sudah dipegang sejak zaman dahulu. Cukuplah ucapan penyair berikut sebagai dalil: “Manusia mengikuti agama penguasanya”. Dan sudah berulang dalam hadits bahwa ulama dan tokoh-tokoh pembesar mereka bertanggung jawab terhadap kebaikan dan keburukan masyarakat”. (Usus al-Akhlaqiyah, hal. 21-22; Lihat Manhajul Anbiya’, hal. 153)
Sungguh aneh sekali cara dia berdalil, yaitu dengan menyebutkan pepatah dan menyebutkan makna hadits tentang tanggung jawab, sedangkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyatakan bahwa setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Maka pendalilannya tidak tepat dan tidak berkaitan dengan masalah daulah.
Lantas ke mana ayat-ayat dan hadits-hadits yang sangat banyak yang berbicara tentang keutamaan tauhid, yang merupakan dasar yang paling mendasar? Apakah dia lupa atau memang tidak tahu? Keduanya tidak pantas bagi seorang yang ditokohkan seperti dia.
Apakah keterangan di atas masih belum jelas? Perhatikanlah ucapannya yang lain:
“Bisa jadi telah jelas dalam kitab-kitab dan tulisan-tulisan kami, bahwa tujuan terakhir yang dituju dari semua apa yang sekarang kita kerjakan dari perjuangan-perjuangan adalah mewujudkan penggulingan kekuasaan. Yang saya maksud adalah kita ingin mencapai dan menghasilkan kekuasaan di dunia ini untuk membersihkan bumi dari kotoran-kotoran para penguasa yang fasik dan fajir. Kemudian menegakkan undang-undang kekuasaan yang shalih”. (Usus al-Akhlaqiyah; Lihat Manhajul Anbiya’, hal. 152)
Sehingga tidak heran kalau mereka menganggap jihad di Bosnia, Cechnya, Ambon dan di tempat-tempat lainnya hanyalah ‘latihan jihad’. Karena jihad yang sesungguhnya menurut mereka adalah pendirian daulah Islamiyah. Padahal dengan jelas disebutkan dalam hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa jihad ditegakkan untuk membela tauhid, shalat, puasa dan ibadah lainnya; bukan untuk berebut kekuasaan apalagi sesama kaum muslimin.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
Perhatikanlah pemikiran Abul A’laa Al-Maududi رحمه الله di Pakistan yang nota bene tokoh partai politik setempat. Dia berkata: “Tujuan utama agama ini pada hakekatnya adalah menegakkan aturan kekuasaan yang shalih dan lurus”. (al-Maududi maa lahu wa maa alaihi, Muhammad Zakariya al-Kandahlawi; lihat Manhajul Anbiya’, Syaikh Rabi’ bin Hadi’ Umair al-Madkhaly; hal. 15)
Jangan dikira maksud al-Maududi adalah menegakkan peribadatan seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Justru ia menyatakan bahwa semua itu adalah hanya sarana untuk menegakkan kekuasaan.
Dengarkan ucapan berikutnya: “Tujuan inilah yang menyebabkan disyari’atkannya shalat, puasa, zakat dan haji dalam Islam. Bukanlah amalan-amalan itu dinamakan ibadah, karena dia sebagai ibadah; namun maknanya adalah ia sebagai persiapan yang mempersiapkan manusia pada ibadah yang sesungguhnya. Maka kedudukan ibadah-ibadah tersebut adalah pelatihan yang wajib untuk menuju daulah islamiyah”. (al-Maududi maa lahu wa maa alaihi; lihat Manhajul Anbiya’, Syaikh Rabi’ bin Hadi’ Umair al-Madkhaly; hal. 151)
Lihatlah dengan kejujuran dan keadilan, apakah kaum muslimin ridha jika ibadah-ibadah tersebut tidak dianggap sebagai ibadah yang sesungguhnya, melainkan hanya latihan menuju ibadah yang sesungguhnya? Pantaslah kalau ia lebih dikenal sebagai “pemikir Islam”, karena dia hanya menyimpulkan dengan pikirannya, tidak dengan melihat dalil-dalil dari al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
Lihatlah ketika ia berdalil:
“Sungguh masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia dan asas yang paling mendasar. Pentingnya masalah ini bukanlah hal yang baru pada zaman sekarang. Sesungguhnya masalah ini sudah dipegang sejak zaman dahulu. Cukuplah ucapan penyair berikut sebagai dalil: “Manusia mengikuti agama penguasanya”. Dan sudah berulang dalam hadits bahwa ulama dan tokoh-tokoh pembesar mereka bertanggung jawab terhadap kebaikan dan keburukan masyarakat”. (Usus al-Akhlaqiyah, hal. 21-22; Lihat Manhajul Anbiya’, hal. 153)
Sungguh aneh sekali cara dia berdalil, yaitu dengan menyebutkan pepatah dan menyebutkan makna hadits tentang tanggung jawab, sedangkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyatakan bahwa setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Maka pendalilannya tidak tepat dan tidak berkaitan dengan masalah daulah.
Lantas ke mana ayat-ayat dan hadits-hadits yang sangat banyak yang berbicara tentang keutamaan tauhid, yang merupakan dasar yang paling mendasar? Apakah dia lupa atau memang tidak tahu? Keduanya tidak pantas bagi seorang yang ditokohkan seperti dia.
Apakah keterangan di atas masih belum jelas? Perhatikanlah ucapannya yang lain:
“Bisa jadi telah jelas dalam kitab-kitab dan tulisan-tulisan kami, bahwa tujuan terakhir yang dituju dari semua apa yang sekarang kita kerjakan dari perjuangan-perjuangan adalah mewujudkan penggulingan kekuasaan. Yang saya maksud adalah kita ingin mencapai dan menghasilkan kekuasaan di dunia ini untuk membersihkan bumi dari kotoran-kotoran para penguasa yang fasik dan fajir. Kemudian menegakkan undang-undang kekuasaan yang shalih”. (Usus al-Akhlaqiyah; Lihat Manhajul Anbiya’, hal. 152)
Sehingga tidak heran kalau mereka menganggap jihad di Bosnia, Cechnya, Ambon dan di tempat-tempat lainnya hanyalah ‘latihan jihad’. Karena jihad yang sesungguhnya menurut mereka adalah pendirian daulah Islamiyah. Padahal dengan jelas disebutkan dalam hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa jihad ditegakkan untuk membela tauhid, shalat, puasa dan ibadah lainnya; bukan untuk berebut kekuasaan apalagi sesama kaum muslimin.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
"Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mempersaksikan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukannya, maka terlindunglah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan kewajiban Islam. Dan hisabnya di sisi Allah. (HR. Bukhari)
Sama seperti pemikiran al-Maududi di Pakistan adalah apa yang diucapkan oleh Muhammad Surur di London. Ia menganggap bahwa seluruh para nabi berjuang untuk menegakkan daulah Islamiyah (lihat Manhaj Salaf, Edisi 92). Dalam prakteknya, mereka seakan-akan menjadikan pendirian daulah islamiyah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun Islam, bahkan yang paling mendasarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله membantah pendapat ini ketika muncul dari seseorang tokoh Syi’ah Rafidhah sebagai berikut:
“Orang yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah perkara yang paling penting dari hukum-hukum agama dan setinggi-tinggi masalah muslimin adalah pendusta dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, suni maupun syi’ah. Bahkan merupakan kekufuran, karena sesungguhnya masalah keimanan kepada Allah dan rasul-Nya adalah perkara yang lebih penting dari pada masalah kekuasaan. Dan ini telah dimaklumi secara aksioma dalam agama Islam”. (Manhajus Sunnah an-Nabawiyyah, Juz I hal. 120; lihat Manhajul Anbiya’, 124)
Kita tanyakan kepada mereka: “Mengapa Nabi Musa عليه السلام tidak kembali ke Mesir setelah Allah membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya? Mestinya kalau tujuan utama para nabi adalah mendirikan daulah islamiyah, tentunya ia akan kembali ke Mesir dan menegakkan daulah islamiyah di sana!
Para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Dan tujuan akhir dakwah mereka adalah agar manusia beribadah kepada Allah semata-mata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat dalam al-Qur'an.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
Sama seperti pemikiran al-Maududi di Pakistan adalah apa yang diucapkan oleh Muhammad Surur di London. Ia menganggap bahwa seluruh para nabi berjuang untuk menegakkan daulah Islamiyah (lihat Manhaj Salaf, Edisi 92). Dalam prakteknya, mereka seakan-akan menjadikan pendirian daulah islamiyah sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun Islam, bahkan yang paling mendasarnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله membantah pendapat ini ketika muncul dari seseorang tokoh Syi’ah Rafidhah sebagai berikut:
“Orang yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah perkara yang paling penting dari hukum-hukum agama dan setinggi-tinggi masalah muslimin adalah pendusta dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, suni maupun syi’ah. Bahkan merupakan kekufuran, karena sesungguhnya masalah keimanan kepada Allah dan rasul-Nya adalah perkara yang lebih penting dari pada masalah kekuasaan. Dan ini telah dimaklumi secara aksioma dalam agama Islam”. (Manhajus Sunnah an-Nabawiyyah, Juz I hal. 120; lihat Manhajul Anbiya’, 124)
Kita tanyakan kepada mereka: “Mengapa Nabi Musa عليه السلام tidak kembali ke Mesir setelah Allah membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya? Mestinya kalau tujuan utama para nabi adalah mendirikan daulah islamiyah, tentunya ia akan kembali ke Mesir dan menegakkan daulah islamiyah di sana!
Para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Dan tujuan akhir dakwah mereka adalah agar manusia beribadah kepada Allah semata-mata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat dalam al-Qur'an.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ… (الأعراف: 59)
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya."… (al-A’raaf: 59)
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُونَ. (الأعراف: 65)
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?" (al-A’raaf: 65)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ… (الأعراف: 73)
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Ia berkata. "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kalian selain-Nya… (al-A’raaf: 73)
Dan ayat-ayat tentang para nabi lain yang lafadhnya persis seperti ini masih banyak lagi.
Maka dari manakah tokoh-tokoh KGB tersebut mengambil teladan dengan menjadikan tujuan utama dakwah mereka adalah mendirikan daulah islamiyah dan penggulingan kekuasaan? Apakah mereka tidak membaca surat Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para penguasa-penguasa kafir yang mengajak mereka untuk bertauhid?
Dan ayat-ayat tentang para nabi lain yang lafadhnya persis seperti ini masih banyak lagi.
Maka dari manakah tokoh-tokoh KGB tersebut mengambil teladan dengan menjadikan tujuan utama dakwah mereka adalah mendirikan daulah islamiyah dan penggulingan kekuasaan? Apakah mereka tidak membaca surat Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para penguasa-penguasa kafir yang mengajak mereka untuk bertauhid?
بِسْم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ.. (رواه البخاري)
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad, hamba Allah dan utusannya, kepada Hiraklius, raja Rumawi. Semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah! Engkau akan selamat! Allah akan memberikan pahala kepadamu dua kali lipat. Jika engkau menolak, maka engkau akan memikul dosa seluruh bangsa Aria (Rumawi). (HR. Bukhari)
Atau perintah Allah kepada Musa عليه السلام untuk mendakwahi Fir’aun –sang penguasa durjana—untuk bertauhid?
Atau perintah Allah kepada Musa عليه السلام untuk mendakwahi Fir’aun –sang penguasa durjana—untuk bertauhid?
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي(42)اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى(43)فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى. (طه: 42-44)
Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (Thaha: 42-44)
Tidakkah mereka membaca kisah dialog antara Ibrahim dan raja Namrud?أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ ءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (البقرة: 258)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabb-nya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Rabb-ku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (al-Baqarah: 258)
Apakah itu semua adalah upaya politis para nabi untuk merebut kekuasaan?KGB selalu berupaya untuk menggambarkan kafirnya penguasa muslim kemudian disejajarkan dengan Fir’aun dan Namrud dengan alasan-alasan klasik, yaitu penafsiran salah terhadap ayat:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فأُلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ. (المائدة: 44)
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir. (al-Maaidah: 44)
Sesungguhnya ayat di atas bersifat umum mengenai penguasa maupun rakyatnya, mengenai setiap pemimpin maupun yang dipimpinnya. Apakah mahluk seperti Halawi Makmun dan teman-temannya tidak pernah berbuat dosa? Dan apakah mereka tidak berpikir bahwa ketika dirinya berbuat dosa, bukankah ia tidak berhukum dengan hukum Allah? Bukankah setiap pendosa tidak berhukum dengan hukum Allah? Apakah mereka juga akan dikafirkan secara mutlak?Sungguh mengerikan jika setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. Dan Sungguh mengerikan kalau setiap orang yang merasa lebih shalih berkewajiban menggulingkan kekuasaan seorang muslim yang mereka anggap kurang shalih.
Inilah inti pemikiran khawarij. Ada pun ahlus sunnah merinci orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bisa jadi Kufur amal (kemaksiatan) dan bisa jadi pula kufur I’tiqadi.
Sumber: Bulettin Rilah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 126, tahun ke3, 29 Dzulhijjah 1427 H / 19 Januari 2007 M
Inilah inti pemikiran khawarij. Ada pun ahlus sunnah merinci orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bisa jadi Kufur amal (kemaksiatan) dan bisa jadi pula kufur I’tiqadi.
Sumber: Bulettin Rilah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 126, tahun ke3, 29 Dzulhijjah 1427 H / 19 Januari 2007 M
0 comments:
Posting Komentar