Code Banner "Materi Tauhid"
Code Banner "Say No! To Terrorism!"

19 Agustus 2009

Bahaya Pemikiran Khawarij Masa Kini (II)

Pemikiran Muhammad Surur

Al-Ustadz Muhammad bin 'Umar As-Sewed Hafidzahullah

Di antara tokoh yang termakan dengan pemikiran takfir Sayyid Quthb adalah Muhammad Surur bin Naif Zaenal Abidin, seorang tokoh pergerakan yang tinggal di Birmingham, London. Hanya saja perbedaannya dengan Sayyid Quthb adalah bahwa Muhammad Surur dan para pengikutnya mengibarkan bendera ahlus sunnah wal jama'ah, bahkan sesekali menyebut dakwahnya dakwah salafiyyah. Padahal telah terbukti secara tertulis dalam majalahnya, bahwa ia pun mengikuti manhaj Sayyid Quthb mengkafirkan kaum muslimin karena kedhaliman dan kemaksiatan. Yang demikian jelas bukan manhaj salaf ahlus sunnah wal jama'ah.
Surur mengkafirkan para penguasa muslim
Dalam majalah As-Sunnah no. 26 th. 1413 H hal. 2-3, ia berkata: "Penyembahan terhadap berhala pada hari ini memiliki banyak tingkatan. Yang pertama, duduk bersila di atas singgasananya penguasa negara sekutu George Bush --bisa jadi besok Clinton. Kedua, tingkatan para penguasa negara-negara Arab yang meyakini bahwa manfaat dan madlarat mereka ada di tangan Bush. Oleh karena itu mereka pergi haji ke sana (Gedung putih) dan memberikan sesajen dan qurban-qurban. Ketiga, jajaran pemerintahan Arab, menteri-menteri, wakil-wakilnya, pimpinan-pimpinan tentara, dewan legislatif dan lain-lain. Mereka berbuat kemunafikan dengan menjilat atasannya.
Menganggap baik kebatilan-kebatilan yang mereka lakukan tanpa ada rasa malu dan kewibawaan. Sedangkan tingkatan yang keempat dan kelima adalah para pegawai-pegawai yang berada di kementerian. Mereka semua meyakini bahwasanya syarat untuk dapat naik ke pangkat yang lebih tinggi adalah kemunafikan, menjilat dan menuruti semua perintah atasannya".
Lihatlah! Muhammad Surur mengkafirkan semua jajaran pemerintahan di negara-negara Arab, bahkan menganggapnya sebagai penyembah berhala. Ia bahkan menyebut para penguasa tersebut lebih jelek daripada orang kafir. Dalam majalahnya no. 43, Jumadil Tsani th. 1415 H, Muhammad Surur menyebutkan: "Berkata sahabatku: bagaimana pendapatmu kalau ada orang yang berkata: jika anak cucu Abdul Aziz (Penguasa Saudi Arabia saat itu –pent.) selamat dari teman-teman dekatnya dari kalangan orientalis Barat yang mengelilinginya, niscaya perkara-perkara yang jelek ini tidak terjadi. Maka saya jawab: Wahai aba fulan….. mereka lebih jelek daripada teman-teman dekatnya. Mengapa mereka memilih orang-orang yang rusak, orientalis, dan para munafiq? Oleh karena itu saya katakan bahwa anak cucu Abdul Aziz lebih jelek dari teman-teman dekatnya. Karena aqidah mereka sama, ditambah lagi anak cucu Abdul Aziz mewajibkan kepada umat hukum-hukum yang jahat dan berserikat dengan kaum orientalis barat dalam strategi dan perencanaannya".
Lihatlah! Muhammad Surur menyatakan dengan tegas bahwa aqidah para penguasa muslim di Saudi Arabia sama dengan aqidah orang-orang kafir barat yang –katanya-- menjadi teman dekatnya.
Kalau penguasa Arab Saudi dikatakan kafir, padahal telah tegas dan jelas dasar negara mereka adalah al-Qur'an dan sunnah, bagaimana kira-kira dengan para penguasa muslim di negeri lain dan di Indonesia ini? Tentunya para pengikut Muhammad Surur di Indonesia lebih berani mengkafirkan kaum muslimin yang berada di jajaran pemerintahan sipil dan militernya.
Surur mengkafirkan para ulama
Ia menyatakan: "Jenis berikutnya adalah golongan yang mengambil keuntungan dengan tidak punya rasa malu mengikuti sikap tuan-tuannya. Jika tuannya meminta bantuan kepada Amerika, maka para hamba sahaya tadi mulai mengumpulkan dalil-dalil untuk membolehkan perbuatan itu. Jika tuannya bertikai dengan Iran rafidlah, maka para budak tadi mengumpulkan dalil-dalil tentang jeleknya rafidlah…" (as-Sunnah, no. 23, hal. 29-30)
Siapakah yang dimaksud oleh Surur dalam ucapannya di atas? Siapa lagi kalau bukan para ulama yang memberikan dalil-dalil dan fatwa. Lebih tegas lagi ketika kita membaca ucapan Muhammad Surur pada edisi 26, setelah menukil ucapan seperti di atas: "Sungguh perbudakan zaman dahulu sangat sederhana, karena ia memiliki tuan yang langsung. Adapun pada hari ini, maka perbudakan sangat rumit dan berantai. Dan aku tidak habis pikir, orang-orang yang berbicara tentang tauhid, ternyata dia adalah budak dari budak dari budak dari budak dari budak. Dan tuannya yang paling akhir adalah Nashrani".
Perhatikanlah pengkafiran Muhammad Surur terhadap para ulama yang diistilahkan dengan "orang yang berbicara tentang tauhid"! Ia menyatakan sebagai budak yang kesekian dari George Bush.
Surur menyeret dakwah tauhid para nabi kepada "dakwah politik"
Dalam kitabnya Manhajul Anbiya' ("Manhaj Para Nabi"), Muhammad Surur menggambarkan para nabi seakan-akan para politikus yang melawan rejim-rejim dan para penguasa yang dhalim. Ia menyebutkan bahwa para nabi adalah para pejuang yang memberontak kepada para penguasa yang kafir dan lalim seperti Fir'aun, Namrud dan lain-lain. Setelah itu ia menyebutkan bahwa para penguasa muslim sekarang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah "Fir'aun-Fir'aun" dan "Namrud-Namrud" yang juga harus ditumbangkan.
Dia sama sekali melupakan bahwa dakwah para nabi adalah tauhid dan mengajak semua manusia, termasuk raja-rajanya untuk beribadah kepada Allah dan tidak beribadah kepada yang lainnya.
Allah سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ... (النحل: 36)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sesembahan lain)…!". (an-Nahl: 36)
Surur mengkafirkan pelaku dosa besar
Dalam menceritakan kisah kaum Luth, Muhammad Surur menganggap bahwa kalau pun mereka beriman dan bertauhid, keimanan mereka tetap tidak akan bermanfaat, selama masih melakukan perbuatan liwath (homo sex). Seperti ia sebutkan dalam bukunya Manhajul Anbiya', hal. 158, juz I: "Tidak aneh kalau masalah mendatangi laki-laki (liwath) adalah masalah terpenting dalam dakwah nabi Luth. Karena kaumnya kalaupun menyambut ajakan nabinya untuk beriman kepada Allah dan tidak syirik, maka tidaklah bermakna apa-apa, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaannya yang buruk…"
Terlihat sekali pemikiran khawarij Muhammad Surur dalam ucapannya di atas bahwa kemaksiatan menggugurkan keimanan. Padahal telah jelas prinsip ahlus sunnah wal jama'ah bahwa kemaksiatan-kemaksiatan mengurangi keimanan, namun tidak menggugurkannya.
Surur melecehkan kitab-kitab aqidah ahlus sunnah
Dengan pemikiran di atas, Muhammad Surur menganggap kitab-kitab aqidah dan tauhid yang ditulis oleh para ulama tidak penting, bahkan ia menganggap buku-buku tersebut kaku dan kering, tidak bermanfaat dalam menyelesaikan problem dakwah masa kini.
Ia berkata: "Aku melihat buku-buku aqidah dan aku dapati buku-buku tersebut berbicara tentang masa lalu bukan pada masa kita, menyelesaikan problem-problem dan masalah yang terjadi pada masanya. Sedangkan pada masa kita, banyak problem baru yang membutuhkan penyelesaian baru pula. Di samping itu, metode yang dipakai dalam buku-buku aqidah sangat kaku dan kering, karena hanya merupakan kumpulan dalil dan hukum. Oleh karena itu kebanyakan para pemuda lari dari padanya". (Manhajul Anbiya', Juz I, hal. 8)
Inilah ciri khas sururiyyun, yaitu melecehkan kitab-kitab aqidah para ulama dan mengajak manusia untuk membaca buku-buku para tokoh pergerakan masa kini, seperti karya Sayyid Quthb dan lain-lain.
Oleh karena itu --meskipun mereka mengaku ahlus sunnah dan kadang-kadang mengaku salaf-- Muhammad Surur dan para pengikutnya tetap memberikan pembelaan kepada Sayyid Quthb dan kelompok-kelompok sejenisnya dengan ucapan-ucapan seperti: "Mereka pun masih mempunyai kebaikan" atau "Bagaimana pun juga mereka adalah seorang mujtahid" dan lain-lain.
Surur menganggap penguasa muslim sebagai thaghut yang lebih dahsyat dari Namrud
Ketika menceritakan kisah nabi Ibrahim, Surur menyamakan Namrud dengan para penguasa muslim hari ini yang dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah. Ia berkata: "Thaghut pada zaman Ibrahim menyatakan: "Aku menghidupkan dan mematikan", yakni membunuh siapa yang dikehendakinya dan membebaskan siapa yang dikehendakinya. Adapun thaghut pada zaman kita sekarang ini di samping mereka membunuh siapa yang dikehendakinya dan memaafkan siapa yang dikehendakinya, mereka menganggap diridiri mereka sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka menentukan undang-undang hukum sekehendaknya dan menganggap yang demikian adalah hak mereka dan bukan hak Allah". (Manhajul Anbiya' 1/114)
Masih di halaman yang sama, bahkan ia menyatakan kalau mereka merupakan thaghut yang lebih dahysat daripada Namrud. Ia berkata: "Dari sini kita ketahui bahwa thaghut pada zaman kita lebih dahsyat dan lebih dhalim daripada thaghut pada zaman Ibrahim عليه السلام. (Manhajul Anbiya' 1/114).
Setelah itu ia mencemooh ulama dan para dai yang tidak mau mengkafirkan mereka dan tidak mau menganggap mereka sebagai thaghut. Ia berkata: "Maka bagaimanakah sejumlah besar para penulis dan penasehat, menulis berlembar-lembar dan berjilid-jilid dalam kitab-kitab mereka dan menghabiskan waktu berjam-jam dan waktu yang panjang dalam ceramah-ceramah mereka di radio, televisi dan lain-lain untuk membicarakan tentang thaghut pada zaman Ibrahim, tetapi tidak satu kalimat pun menyinggung tentang thaghut pada zaman kita. Allahumma, kecuali jika pembicaraan mereka adalah bagian dari misi-misi propaganda yang direncanakan oleh thaghut untuk menyerang thaghut lain". (Manhajul Anbiya', 1/139)
Sungguh tepat apa yang dinasehatkan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan ketika ditanya tentang sikap kita terhadap buku Manhajul Anbiya' tersebut, beliau menjawab: "Jauhilah penyakit-penyakit yang ada dalam kitab tersebut dan hendaknya buku itu ditarik dari toko-toko buku dan laranglah buku tersebut untuk masuk ke negeri ini". (al-Ajwibal Mufidah, Syaikh Shalih Fauzah, hal. 50)
Pemikiran sururiyyah lebih bahaya dari pada quthbiyyah
Bahaya pemikiran sururiyyah ini lebih dahsyat daripada bahaya pemikiran Sayyid Quthb. Karena Muhammad Surur dengan majalahnya As-Sunnah --yang kemudian diganti dengan Al-Bayan-- selalu mengatas-namakan ahlus sunnah dan pada terbitan perdananya selalu meminta rekomendasi dari para ulama ahlus sunnah. Hingga banyak kaum muslimin yang terperdaya dengannya.
Hingga muncullah salafi gadungan yang berbaju ahlus sunnah, namun berpemikiran Quthbiyyah. Kita katakan pada para sururiyyin: "Kalian hanya memiliki pegangan "Al-Bayan" dan "As-Sunnah", sedangkan kami berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".

Sumber : Buletin Risalah Dakwah Manhaj Salaf, edisi 92 tahun ke 2, 27 Dzulhijjah 1426 H / 27 Januari 2006 M

0 comments:

Silahkan baca juga :