Penulis:
بسم الله الرحمن الرحيم
Orang yang beriman tentu ingin membuktikan keimanannya sehingga dia dinobatkan sebagai seorang mukmin sejati. Tidak ada jalan untuk mewujudkan harapan yang mulia ini melainkan dengan merealisasikan tauhid kepada Pencipta Langit dan Bumi, yakni Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Merealisasikan tauhid secara sempurna adalah dengan membersihkan dan memurnikannya dari campuran syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi. Peribadahan yang dilakukan harus terbebas pula dari kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus. Maka,seorang yang berkemauan untuk merealisasikan tauhid secara sempurna harus memenuhi kriteria sebagaimana yang diutarakan di atas.
Merealisasikan tauhid artinya menunaikan dua kalimat syahadat dengan sebaik-baiknya. Yang dimaksud yaitu mentauhidkan Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dalam perkara ibadah dan mentauhidkan Rasul-Nya dalam hal mengikuti.
Seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat hendaknya membersihkan tauhid dari berbagai jenis kesyirikan dan dosa besar yang tidak diikuti taubat. Ini merupakan bentuk realisasi ucapan Tauhid La ilaha ilallah. Di samping itu, dia harus berlepas diri dari segala kebid’ahan (urusan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-) Ini merupakan bentuk realisasi ucapan Tauhid Muhammadur Rasulullah. Demikianlah makna merealisasikan tauhid secara sempurna.
Di samping terbebas dari berbagai jenis syirik besar maupun kecil, baik yang jelas atau tersembunyi, seorang yang bertauhid harus terlepas pula dari segala kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus tanpa bertaubat. Karena melaksanakan sebuah kebid’ahan berarti mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hawa nafsu. Demikian pula makna yang terkandung dalam berbuat sebuah dosa besar. (Penjelasan ini diterangkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh di kaset pelajaran Kitabut-Tauhid)
Tingkatan Merealisasikan Tauhid
Merealisasikan tauhid dapat dibagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkat yang Wajib
Yaitu seseorang merealisasikan tauhid dengan membersihkan dan memurnikannya dari berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan dan dosa besar yang dilakukan terus-menerus. Ini merupakan tingkat yang wajib bagi orang yang ingin merealisasikan tauhid dengan sempurna.
Tingkat ini digapai setelah menunaikan tingkat yang pertama. Oleh sebab itu, tingkat ini lebih tinggi derajatnya dari tingkat yang pertama. Seorang yang ingin menduduki tingkat ini harus melepaskan seluruh wujud penghambaan diri, keinginan, dan tujuan yang menghadap kepada selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Sehingga dirinya tidak menghadap, berkeinginan dan bertujuan untuk selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sedikit pun dan sekecil apapun. Sehingga hawa nafsu menjadi budaknya, sedangkan dirinya menjadi hamba Allah -Subhanahu wa Ta’ala- secara total dan utuh.
Dengan demikian, seseorang yang menempati tingkat ini tidak hanya meninggalkan berbagai jenis kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Namun juga meninggalkan perkara-perkara yang makruh, bahkan sebagian perkara mubah yang dikhawatirkan menggiring kepada perkara haram. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan pernyataan:
يَتْرُكُوْنَ مَا لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ خَوْفًا مِنْ أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ بَأْسٌ
“Mereka meninggalkan perkara yang tidak mengandung dosa karena khawatir terdapat dosa di dalamnya.”
Tingkatan kedua ini adalah wujud maksimal untuk merealisasikan tauhid secara sempurna dalam meraih derajat yang setinggi-tingginya ketika masuk surga. Sedangkan tingkat yang pertama adalah standar untuk masuk surga tanpa azab dan perhitungan amal.
Tentunya kedua tingkatan di atas memiliki perbedaan pula dalam hal mengibadahi Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Jika tingkat pertama hanya mengibadahi Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dengan perkara-perkara yang wajib saja, beda halnya dengan tingkat kedua. Pada tingkat ini, peribadahan kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidak hanya sebatas perkara-perkara yang wajib saja, tetapi juga dalam perkara yang mustahab. Tingkat pertama disebut dengan Al-Muqtashid sedangkan tingkatan kedua disebut dengan As-Sabiq bil Khairat. Wallahu a’lam.
Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=442, ditulis kembali secara terpisah persub judul oleh Ittibausalaf press.
0 comments:
Posting Komentar