Code Banner "Materi Tauhid"
Code Banner "Say No! To Terrorism!"

20 Mei 2009

Beramal, bekerja, berobat dan mengambil sebab lainnya tidak menghilangkan Tawakal

Oleh : Abu Harits Faishal (telah di periksa oleh Ust. Muhammad Umar As-Sewed)
(Bulettin Risalah Dakwah Manhaj Salaf edisi 6 tahun ke-4, 16 Muharam 1429 H / 25 Januari 2008 M)
Untuk download bulettin Manhaj Salaf tentang materi ini klik disini.

Ketahuilah bahwa at-tawakal diambil dari kata al-wakalah. Jika dikatakan, "Wakkala Fulan amruhu ilaala fulan", artinya si fulan (pertama) menyerahkan urusannya kepada fulan (kedua) , maksudnya ia menyerahkan perkaranya kepadanya dan bersandar kepadanya dalam urusan itu.(Ibnu Qudamah Al-Maqdisy dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin:316)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “ Tawakal kepada Allah adalah ketergantungan seorang manusia kepada Rabnya baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan untuk mendapatkan kemanfaatan atau menjauhkan diri dari kemudhorotan,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.(Ath-Thalaq: 3)(Syarah Riyadhus-Shalihin : 1/234)

Berkata Ibnu Qudamah : “Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan. Tidaklah seorang manusia bertawakal kepada yang lain kecuali jika dia memiliki beberapa hal, yaitu: kekaguman, kepercayaan dan hidayah. Jika engkau sudah memahami hal-hal tadi, maka terapkanlah keadaan tadi dalam bertawakal kepada Allah.
Jika sudah mantap hatimu bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah saja, dan bersamaan dengan itu engkau yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya sempurna, tidak ada kekuasaan diatas kekuasaan-Nya, tidak ada ilmu lain diatas ilmu-Nya dan tidak ada rahmat lain diatas rahmat-Nya. Maka hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok kepada selain-Nya.
Namun jika engkau tidak mendapatkan keadaan tersebut di dalam dirimu, maka hal ini muncul dari salah satu diantara dua sebab; bisa jadi karena lemahnya keyakinan terhadap perkara-perkara tadi. Atau bisa jadi karena kekhawatiran hati yang disebabkan kegelisahan dan keraguan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu karena adanya keraguan sekalipun keyakinannya masih ada .
Siapa yang diberi madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.
Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat apakah di kuburan atau di tempat tidur atau di dalam rumah, tentu dia akan menolak hal itu, padahal dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati, dan biasanya dia tidak lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan sedikit sekali orang yang terbebas darinya.Bahkan kadang-kadang kekhawatiran ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.
Oleh karena itu, tawakal tidak akan sempurna kecuali dengan disertai kepercayaan hati dan kekuatan keyakinan secara bersamaan”.(Mukhtashar Minhajil-Qashidin : 316-317)
Ibnul-Qayyim -Rahimahullah- berkata : “Keyakinan dekat dengan tawakal, karena itu ditafsirkan bahwa tawakal adalah kekuatan keyakinan, bahkan yang benar adalah; bahwasanya tawakal merupakan buah dan hasil dari keyakinan”.(Madarijus-Salikin:397-398)

Anjuran untuk bertawakal
Allah –Subhanahu wa Ta'ala- berfirman :

إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ(122)

“Ketika dua golongan daripadamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang mu'min bertawakal”.(Ali Imran :122)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ(159)
“Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.(Ali Imran:159)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

“Bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati”.(Al-Furqaan:58)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -Rahimahullah-: ”Dialah Allah, bersandarlah kepada-Nya di setiap urusanmu baik urusan yang kecil ataupun urusan yang besar; karena sesungguhnya jika Allah tidak memberikan kemudahan pada urusanmu, niscaya kamu akan mendapatkan kesulitan. Dan diantara sebab untuk mendapatkan kemudahan dari Allah adalah bertawakal kepada-Nya, terlebih lagi jika engkau ditimpa masalah, banyak kegundahan dan semakin bertumpuk-tumpuk urusanmu, maka tidak ada tempat untuk berlindung bagimu selain Allah . Karena itu wajib atas kalian untuk bertawakal kepada-Nya dan bersandar kepada-Nya sehingga cukuplah Dia bagimu”.(Syarah Riyadus-Shalihin:1/236)

Mengambil sebab tidak menghilangkan tawakal
Dalam sebuah hadits, Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Nabi menyebutkan: bahwa diantara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab. Kemudian beliau bersabda,

هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Yaitu mereka yang tidak meminta dijampi-jampi, tidak minta diobati dengan besi panas (kay), tidak menganggap sesuatu sebagai pembawa sial dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakal". (H.R. Bukhari dan Muslim, lafadz ini dari Bukhari)
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan ‘Alu Syaikh -Rahimahullah-: ”Ketahuilah sesungguhnya dalam hadits ini tidak menunjukkan; bahwa mereka tidak mau mengambil sebab-sebab sama sekali. Karena sesungguhnya mengambil sebab-sebab pada umumnya merupakan perkara yang alami dan pasti, tidak seorangpun yang bisa lepas dari masalah tersebut. Bahkan inti dari tawakal itu sendiri adalah mengambil sebesar-besarnya sebab, sebagaiman firman Allah Ta’ala :
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.(Ath-Thalaq: 3), yaitu mencukupinya.
Adapun yang dimaukan dari hadits diatas; bahwasanya mereka (disifati dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut) karena mereka meninggalkan perkara-perkara yang makruh, sekalipun mereka membutuhkannya. Mereka tinggalkan (justru) karena tawakal kepada Allah Ta’ala, demikian pula semisal berobat dengan besi panas ataupun minta di jampi-jampi, ditinggalkan karena merupakan sebab-sebab yang hukumnya makruh”.(Fathul-Majid hal. 87-88)
Ibnu Qudamah Menyebutkan : “Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati, cukup berdiam diri di bumi seperti orang lemah (dungu) dan seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.
Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, atau menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan dan memeliharanya. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit.(Mukhtashar Minhajil-Qashidin:317-318)

Anjuran berobat sebagai ikhtiar dalam menghilangkan kemudhorotan
Berkata Syaikh Abdurrohman Alu Syaikh -Rahimahullah- : “Adapun mengambil sebab-sebab dan berobat dengan cara yang tidak dimakruhkan, dalam hal ini tidak mengurangi tawakal dan meninggalkan berobat bukanlah sesuatu yang disyariatkan, sebagaiman terdapat pada riwayat Abu Hurairah secara marfu’ dalam kitab Shahih (Bukhari) :
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ دَاءٍ إِلَّا أَنْزَلَ لهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya”.
Dan dari Usamah bin Syarik berkata: “Aku berada disisi Rasulullah lalu datanglah orang-orang Arab baduy seraya berkata : “Wahai Rasulullah apakah kami (boleh) berobat?” Rasulullah menjawab:

تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ

“Ya,Wahai hamba Allah berobatlah, karena sesungguhnya tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Allah menurunkan obatnya juga, kecuali satu penyakit”. Mereka bertanya:”apakah itu?”, Rasulullah menjawab:”Ketuaan”. (H.R. Ahmad ).(Fathul-Majid hal.88)

Mencari penghidupan sebagai ikhtiar dalam mendatangkan manfaat
Allah menjelaskan dalam ayat-ayat-Nya yang mulia bahwa telah disediakan bagi manusia adanya kasab (mata pencaharian) dan sumber penghidupan dan kita dianjurkan untuk mencarinya, sehingga bukanlah disebut seorang yang tawakal jika ia hanya duduk berpangku tangan tanpa mau berusaha dan mencari kasab dalam kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا(11)
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan”.(An-Naba:11)

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ(10)

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.(Al-A’raaf:10)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu”.(Al-Baqarah:198)
Bahkan sesungguhnya para Nabi memiliki kasab (mata pencaharian) dan mereka makan dari hasil usaha tangan mereka sendiri.
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

”Tidaklah salah seorang diantara kalian makan makanan yang lebih baik daripada makanan yang diperoleh dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud makan dari hasil usahanya sendiri”. (H.R. Bukhari)
كَانَ زَكَرِيَّا نَجَّارًا

“ Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu”.(H.RAhmad dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jami' no.4456)
Berkata Ibnu ‘Abbas : “ Nabi Adam adalah seorang petani, Nabi Nuh seorang tukang kayu, Nabi Idris seorang penjahit, Nabi Ibrahim dan Nabi Luth adalah petani, Nabi Shalih seorang pedagang, Nabi Dawud seorang pembuat baju besi, Nabi Musa, Nabi Su’aib dan Nabi Muhammad adalah para penggembala”.(Mukhtasor Minhajil- Qasidin : 75)
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya oleh seseorang :”Apa pendapatmu tentang seseorang yang hanya duduk berdiam diri di rumahnya atau di masjidnya (tidak mau berusaha), kemudian dia berkata,”Saya tidak mau bekerja sedikitpun sampai rizki datang sendiri padaku!” Maka Ahmad berkata : ” Dia adalah orang yang bodoh! Apakah dia tidak mendengar sabda Nabi :
جُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
“Dijadikan rizkiku dibawah naungan tombak”.(H.R. Bukhari)
Dan sabda beliau:
تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Pergi di pagi hari dengan perut kosong, dan kembali di sore hari dengan perut kenyang”.(H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no.310)(Mukhtashar Minhajil-Qashidin: 76)
Demikian pula keadaan para Shahabat Rasulullah, mereka berdagang di darat atau lautan dan bekerja pada pohon-pohon kurma mereka. Maka sebaik-baik suri tauladan adalah mereka.(Mukhtashar Minhajil-Qashidin: 76) . Wallahu a’lam

0 comments:

Silahkan baca juga :